Di ujung bulan kesepuluh ini setiap tahun ada sebuah hari yang sangat bersejarah bagi bangsa indonesia, hari ketika sekumpulan pemuda mendeklarasikan sebuah sumpah yang mengakui jika mereka, berbangsa, berbahasa dan bertanah air Indonesia.
Sumpah Pemuda adalah nama hari istimewa tersebut, yang menjadi bukti otentik bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Dari situ seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia.
Membuka kembali lembar sejarah tentang suporter indonesia, ada sebuah momen yang hampir mirip. Di sebuah kantor sebuah media cetak, berkumpul beberapa kelompok suporter yang kemudian berhasil mencetuskan ASSI (Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia) adalah Sigit Nugroho (BOLA) Mayor Haristanto, Panji Kartiko, Ryan Ardhianto (Pasoepati), Rudi Permadi (Aremania), Haryanto (Bonekmania), Gugun Gondrong dan Ferry Indrasyarief (Jakmania), Herru Joko, Agus Rahmat, Eri Herdian, Leo Nandang Rukaran (Viking), Robert Manurung (Kampakmania), dan beberapa perwakilan dari kelompok suporter lain, seperti Macz Man dan PKT bontang.
Selain tercetus ASSI, kumpul-kumpul itu menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional. Namun sayang, ASSI haya seumur jagung dan tidak lagi terdengar kabarnya dalam setahun ke depannya.
Tahun 2000 adalah tahun suporter mendewakan sebuah hal yaitu “kreativitas” tak lain dan tak bukan adalah Aremania yang mempelopori gerakan suporter kreatif tersebut. Setiap wilayah yang mempunyai tim sepakbola berlomba-lomba, masyarakatnya berlomba-lomba menjadi suporter yang kreatif, mendukung timnya bukan hanya lewat tepuk tangan tapi juga lewat koreografi dan nyanyian. Sebutlah Jakmania, Viking, Pasoepati, Asykar The King, Macz Man, adalah beberapa contoh suporter kreatif pada masa itu.
Kemudian, sebuah produsen rokok yang menjadi sponsor Coppa Indonesia waktu itu menggelar dua kali Jambore Suporter di tahun 2006 di Cisarua dan 2007 (Sabur, Bali). Di ajang ini bertemu sekitar 50-an kelompok suporter se-Indonesia. Bukan hanya itu, di sana berkumpul pula, wasit, Badan Liga Indonesia dan juga perwakilan PSSI. Mereka berkumpul untuk berdiskusi tentang sepakbola Indonesia dan bagaimana memajukannya. Sebuah kesepakatan muncul di jambore 2007, yaitu pembentukan Neo- ASSI. Namun sampai sekarang ide dari Tommy Hermarto tersebut batal terealisasi.
Momentum Sumpah Pemuda seharusnya bisa dimaknai positif oleh teman-teman suporter. Mengesampingkan ego pribadi dan fanatisme sempit kita untuk bergandengan tangan demi sepakbola Indonesia. Atau, mengutip Bambang Haryanto — seorang penggagas Hari Suporter Nasional kala memperingati sewindu hari suporter tahun 2008 — kita ini memang suporter myophia: suporter yang rabun dekat, suporter yang tidak melihat menggunakan seribu cara pandang. Katakanlah itu gugatan kami, kepada diri kami sendiri. Karena kami selama ini menderita myopia, cadok, rabun dekat. Kita hanya mampu melihat hal-hal yang dekat, misalnya fanatisme terhadap klub berdasarkan primodialisme yang berlebihan, bahkan rela dibela dengan nyawa.
Lalu, dengan kecadokan semacam itu kita merasa cukup, merasa sehat, merasa dunia sepakbola kita sudah beres-beres saja. Kita tidak menyadari terancam hanya menjadi useful idiot, orang-orang yang bagai kerbau dicocok hidung, karena tidak berani memiliki pikiran atau pendirian yang mandiri. Konflik-konflik antarsuporter itu mungkin sengaja “dipelihara”, seperti halnya pelbagai konflik di tanah air, sehingga dapat memberikan keuntungan kepada sekelompok aktor intelektual tertentu.
“Ketika mata di balas mata, maka dunia akan menjadi buta”. Sebuah ungkapan yang menarik dari Mahatma Gandhi tepat untuk mencerminkan keberadaan suporter sepakbola di Indonesia. Sebuah kata “dendam” menjadi sebuah pelegalan untuk melakukan kerusuhan.
Seiring berkembangnya waktu, proses pendewasaan suporter semakin mudah dikampanyekan, terutama lewat media internet dan social media semacam Facebook (FB) dan twitter. Sigit ‘Ompong’, dirijen Pasoepati berkali-kali menulis di status FB-nya. Kalau anarkisme itu dimulai dari lagu yang menghujat, maka sejak beberapa waktu lalu Sigit Ompong sudah tidak mau mengajak untuk bernyanyi rasis. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jakmania. Di website mereka sempat terpampang sebuah gambar yang bertuliskan, “kita punya banyak lagu bagus, kenapa memilih lagu rasis”. Pendewasaan seperti itu sebenarnya yang dibutuhkan para pemimpin kelompok suporter.
Seandainya seluruh elemen suporter bersatu, membuang ego mereka masing masing, menggulingkan Nurdin Halid semestinya bukan perkara yang mudah. Namun ketika kita bersikap secara eksklusif dengan berdemo hanya dengan kelompok kita sendiri, maka tuduhan suporter bayaran dari sang raja PSSI tersebut meluncur dengan enteng.
Masih terngiang ikrar kala jambore suporter 2007 di Bali waktu itu: “Kami Suporter Sepakbola Indonesia, dengan ini berikrar dan bersungguh-sungguh menjaga serta menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian dalam ikatan persaudaraan antarsuporter demi kemajuan serta kejayaan Sepakbola Indonesia.”
sumber
Sumpah Pemuda adalah nama hari istimewa tersebut, yang menjadi bukti otentik bahwa pada tanggal 28 oktober 1928 bangsa Indonesia dilahirkan. Dari situ seharusnya seluruh rakyat Indonesia memperingati momentum 28 Oktober sebagai hari lahirnya bangsa Indonesia.
Membuka kembali lembar sejarah tentang suporter indonesia, ada sebuah momen yang hampir mirip. Di sebuah kantor sebuah media cetak, berkumpul beberapa kelompok suporter yang kemudian berhasil mencetuskan ASSI (Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia) adalah Sigit Nugroho (BOLA) Mayor Haristanto, Panji Kartiko, Ryan Ardhianto (Pasoepati), Rudi Permadi (Aremania), Haryanto (Bonekmania), Gugun Gondrong dan Ferry Indrasyarief (Jakmania), Herru Joko, Agus Rahmat, Eri Herdian, Leo Nandang Rukaran (Viking), Robert Manurung (Kampakmania), dan beberapa perwakilan dari kelompok suporter lain, seperti Macz Man dan PKT bontang.
Selain tercetus ASSI, kumpul-kumpul itu menetapkan tanggal 12 Juli sebagai Hari Suporter Nasional. Namun sayang, ASSI haya seumur jagung dan tidak lagi terdengar kabarnya dalam setahun ke depannya.
Tahun 2000 adalah tahun suporter mendewakan sebuah hal yaitu “kreativitas” tak lain dan tak bukan adalah Aremania yang mempelopori gerakan suporter kreatif tersebut. Setiap wilayah yang mempunyai tim sepakbola berlomba-lomba, masyarakatnya berlomba-lomba menjadi suporter yang kreatif, mendukung timnya bukan hanya lewat tepuk tangan tapi juga lewat koreografi dan nyanyian. Sebutlah Jakmania, Viking, Pasoepati, Asykar The King, Macz Man, adalah beberapa contoh suporter kreatif pada masa itu.
Kemudian, sebuah produsen rokok yang menjadi sponsor Coppa Indonesia waktu itu menggelar dua kali Jambore Suporter di tahun 2006 di Cisarua dan 2007 (Sabur, Bali). Di ajang ini bertemu sekitar 50-an kelompok suporter se-Indonesia. Bukan hanya itu, di sana berkumpul pula, wasit, Badan Liga Indonesia dan juga perwakilan PSSI. Mereka berkumpul untuk berdiskusi tentang sepakbola Indonesia dan bagaimana memajukannya. Sebuah kesepakatan muncul di jambore 2007, yaitu pembentukan Neo- ASSI. Namun sampai sekarang ide dari Tommy Hermarto tersebut batal terealisasi.
Momentum Sumpah Pemuda seharusnya bisa dimaknai positif oleh teman-teman suporter. Mengesampingkan ego pribadi dan fanatisme sempit kita untuk bergandengan tangan demi sepakbola Indonesia. Atau, mengutip Bambang Haryanto — seorang penggagas Hari Suporter Nasional kala memperingati sewindu hari suporter tahun 2008 — kita ini memang suporter myophia: suporter yang rabun dekat, suporter yang tidak melihat menggunakan seribu cara pandang. Katakanlah itu gugatan kami, kepada diri kami sendiri. Karena kami selama ini menderita myopia, cadok, rabun dekat. Kita hanya mampu melihat hal-hal yang dekat, misalnya fanatisme terhadap klub berdasarkan primodialisme yang berlebihan, bahkan rela dibela dengan nyawa.
Lalu, dengan kecadokan semacam itu kita merasa cukup, merasa sehat, merasa dunia sepakbola kita sudah beres-beres saja. Kita tidak menyadari terancam hanya menjadi useful idiot, orang-orang yang bagai kerbau dicocok hidung, karena tidak berani memiliki pikiran atau pendirian yang mandiri. Konflik-konflik antarsuporter itu mungkin sengaja “dipelihara”, seperti halnya pelbagai konflik di tanah air, sehingga dapat memberikan keuntungan kepada sekelompok aktor intelektual tertentu.
“Ketika mata di balas mata, maka dunia akan menjadi buta”. Sebuah ungkapan yang menarik dari Mahatma Gandhi tepat untuk mencerminkan keberadaan suporter sepakbola di Indonesia. Sebuah kata “dendam” menjadi sebuah pelegalan untuk melakukan kerusuhan.
Seiring berkembangnya waktu, proses pendewasaan suporter semakin mudah dikampanyekan, terutama lewat media internet dan social media semacam Facebook (FB) dan twitter. Sigit ‘Ompong’, dirijen Pasoepati berkali-kali menulis di status FB-nya. Kalau anarkisme itu dimulai dari lagu yang menghujat, maka sejak beberapa waktu lalu Sigit Ompong sudah tidak mau mengajak untuk bernyanyi rasis. Hal yang sama juga dilakukan oleh Jakmania. Di website mereka sempat terpampang sebuah gambar yang bertuliskan, “kita punya banyak lagu bagus, kenapa memilih lagu rasis”. Pendewasaan seperti itu sebenarnya yang dibutuhkan para pemimpin kelompok suporter.
Seandainya seluruh elemen suporter bersatu, membuang ego mereka masing masing, menggulingkan Nurdin Halid semestinya bukan perkara yang mudah. Namun ketika kita bersikap secara eksklusif dengan berdemo hanya dengan kelompok kita sendiri, maka tuduhan suporter bayaran dari sang raja PSSI tersebut meluncur dengan enteng.
Masih terngiang ikrar kala jambore suporter 2007 di Bali waktu itu: “Kami Suporter Sepakbola Indonesia, dengan ini berikrar dan bersungguh-sungguh menjaga serta menjunjung tinggi persatuan dan perdamaian dalam ikatan persaudaraan antarsuporter demi kemajuan serta kejayaan Sepakbola Indonesia.”
sumber
http://thejakmania.net/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar