By Bung Ferry Indrasjarief
Sunday, December 26 , 2010 at 12:40am
Lagu Garuda Di Dadaku mendadak
terdengar dimana- mana. Netral
sekonyong- konyong diundang kemana - mana. Kaos timnas laku keras . Dimana- mana orang bangga pake kaos dengan lambang Garuda di dadanya . Antrian pembelian tiket pertandingan Tim Nasional memanjang kaya ular naga .
Euforia ini dalam rangka menyambut
lolosnya Tim Nasional Indonesia ke Final Piala Suzuki AFF . Padahal baru final. Padahal kita belum juara . Padahal
sebelumnya kita pernah masuk final
turnamen ini sebanyak 3 x . Tapi itulah,
publikasi besar-besaran di berbagai
media, membanjirnya publik figur yang
hadir di Senayan , serta harga tiket yang
melambung, semua itu menjadi hal
yang mewarnai euforia bangsa kita .
Ada banyak hal yg bikin terciptanya
euforia itu. Selain publikasi besar-
besaran di hampir seluruh media cetak
dan elektronik, prestasi juga jadi
penyebab. Kemenangan telak dalam 2
pertandingan awal Indonesia, terutama 5- 1 melawan Malaysia , membuat Indonesia seperti bersatu mencari musuh2 baru . Kemudian muculnya Irfan Bachdim , pemain blasteran berwajah tampan yang menurut gw punya tehnik bagus tapi belum bisa dikatakan tehnik tinggi . Bangsa kita kan selalu butuh figur yang bisa jadi idola.
Jadilah Irfan Bachdim yang baru nyetak
2 gol menjadi idola baru dan popularitasnya mengalahkan Bepe yang sudah 11 tahun di Timnas dan
mencetak puluhah gol bagi Merah Putih.
Ironinya euforia itu menenggelamkan
keluhan bahkan jeritan sebagian lagi
yang terpaksa tidak bisa menyaksikan
kesebelasan kebanggaannya berlaga.
Jeritan dari manusia- manusia Indonesia yang justru selama ini setia memberikan dukungan pada Tim Nasional meski prestasi bagus tak kunjung tiba. Jeritan dari para loyalis yang tidak asing lagi dengan suasana Stadion Utama Senayan. Ada 2 kendala yang mereka hadapi sehingga sebagian besar dari mereka tidak bisa hadir secara langsung di Senayan betapapun besar hasrat tuk
memberikan dukungan.
Harga tiket yang melambung tinggi .
Dulu nonton di Senayan cukup
merogoh saku 15 ribu rupiah di tribun
atas dan 25 ribu rupiah di belakang
gawang. Ketika mencapai harga 2 x lipat di belakang gawang, masih banyak yang bisa menjangkau . Tapi ketika mencapai angka 75 ribu di belakang gawang dan 50 ribu di atas, meski masih banyak yang beli , mulai banyak keluhan. Apalagi final, tontonan ini menjadi tontonan
termahal di Indonesia. Bayangkan
nonton 22 manusia kecil -kecil sebesar
ibu jari kita harus mengeluarkan uang
hingga 100 ribu rupiah . Itupun dari jauh di belakang jaring gawang . Berarti setiap menit kita harus mengeluarkan uang seribu rupiah . Belum lagi kalo diliat tantangan tuk mencapai tujuan. Macet, jalan kaki jauh, masuknya repot , duduk ga terjamin ... .... . wah , rasanya cuma orang yang gila bola aje yang tetep mau hadir.
Untuk mendapatkan tiket juga ga
gampang, bahkan susah banget . Dulu
karena ga banyak yang nonton, PSSI
sangat kooperatif . Suporter2 Nasionalj
yang dikoordinasi oleh the Jakmania
selalu mendapatkan tiket lebih dahulu
dan dalam jumlah besar. Pembayaran
bisa dilakukan setelah pertandingan.
Selama ini the Jakmania beserta
suporter2 dari daerah sangat setia
memberikan dukungan. Tidak pernah
juga ada masalah dalam pembayaran
tiket. Namun kali ini, PSSI hanya
memberikan jatah pada suporter setia
dengan jumlah yang minim. Dengan
jumlah yang minim ini , the Jakmania
tetap harus berbagi dengan saudara2
dari suporter yang datang jauh dari luar Jakarta.
Apa kemudian yang terjadi di stadion?
Banyak sekali orang foto2 karena
mungkin ini pertama kalinya mereka
hadir di Senayan . Banyak juga orang
yang komplen karena ga kebagian
duduk. Tidak sedikit yang teriak 2 dua
jam sebelum pertandingan, buka baju,
tapi begitu kebobolan lebih dahulu
waktu lawan Thailand, langsung diam
seribu bahasa . Duduk manis sambil
tengok sana tengok sini cari jajanan .
Kalo mo kencing , tempat duduk
ditandain. Setiap ada yg mo duduk
dibilang ada orangnye . Wah , udah kaya bioskop maen tek- tek tempat duduk.
Beli tiket satu tapi duduk di kursi lebih
dari satu karena bawa anak kecil.
Pada saat pertandingan, yel- yel juga
kurang kompak. Kalo dulu yel -yel selalu diawali dengan the Jakmania dan
rekan2 suporter yang sudah menjadi
langganan nonton. Karena jumlahnya
besar, yel lebih kompak dan terdengar
kemana-mana sehingga yang lain
tinggal ngikutin . Sekarang kelompok tsb jadi minoritas, yel-yel mereka tidak atau kurang terdengar sehingga lagu Garuda Di Dadaku dan Ayo Garuda jadi tidak pernah bisa kompak nyanyinye.
Bayangin kalo kompak ,.. .... lawan pasti
tergetar seperti ketika lagu INDONESIA
RAYA dinyanyikan bersama . Atraksi
berupa gerakan tangan yang kompak
yang selama ini jadi daya tarik bagi
penonton lain terutama yang berasal
dari luar negeri , . ... hampir dapat
dikatakan hilang.
Ah, inikah Senayan?
Inikah suporter Indonesia?
Dulu suporter Indonesia,
terutama the Jakmania , sempat dijuluki
sebagai FOOTBALL CRAZY FANS. Julukan itu tercetus di salah satu acara Star Sport ketika melihat the Jakmania
memberikan dukungan pada Persija di
turnamen Piala Emas Bang Yos .
Kreativitas the Jakmania sebetulnya juga dilakukan hampir seluruh suporter klub bola di tanah air. Dan ketika mendukung tim nasional, seluruh suporter itu kompak gabung membentuk atraksi yang mengundang decak kagum bagi yang melihat. Tapi itu tinggal kenangan manis di benak gw . Hilang ditelan arus deras sepakbola profesional yang lebih
mementingkan pemasukan. Tapi apa
betul sepakbola profesional seperti itu?
Gw tidak anti dengan para suporter
dadakan. Suporter yang mendadak
merasa memiliki Tim nasional . Suporter yang mendadak bangga akan Garuda Di Dadanya. Suporter yang merasa bangga jadi Orang Indonesia. Mereka juga berhak kok . Toh kehadiran mereka juga positif buat Tim Nasional . Datang, pake segala atribut Merah Putih , dan terus memberikan dukungan selama 2x 45 menit mesti dengan cara yang berbeda .
Tapi adilkah ini bagi Suporter yang
selama ini setia dan kini harus tersingkir ? Memang mereka cuma bisa
beli tiket murah . Tapi kalo dikumpulkan tiket murah itu sejak mereka mendukung Tim Nasional, rasanya nilainya masih lebih besar daripada para suporter dadakan tersebut . Akhirnya gw cuma berharap PSSI memberikan ruang sedikit bagi para suporter militan tsb. Satu tribun aje.
Satu Tribun di belakang gawang.
Tempat kumpulan para suporter setia
itu berkumpul . Tempat para suporter
tsb beratraksi, berkreasi dan menjadi
leader di Stadion Utama Senayan. Gw
yakin 7. 000 tempat di belakang gawang
itu akan jadi sebuah tontonan menarik
bagi seluruh penonton yang hadir . Dan lewat atraksi merekalah, seluruh
Suporter Indonesia yang hadir disana
akan ikut melakukan gerak, meneriakkan yel- yel dan serempak
menyanyikan lagu GARUDA DI DADAKU
yang akan menggetarkan semua lawan
yg tampil. Masih bisakah kami berharap?
sumber
notes facebook Bung Ferry Indrasyarif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar